Observatorium di Abad Pertengahan
Setelah ekspansi Islam tahap awal berhasil dilakukan, kaum Muslim mulai tertarik untuk mengobservasi langit. Pengamatan terhadap berbagai fenomena yang terjadi luar angkasa gencar dilakukan umat Islam karena desakan kebutuhan akan jadwal yang tepat, penetapan kalender serta penentuan jadwal shalat. Aktivitas ini pun mendapat dukungan dan sokongan dari para khalifah.
Untuk menguak rahasia langit, peradaban Islam pun membangun observatorium astronomi. Observatorium merupakan sebuah lokasi untuk mengamati langit dan peristiwa yang terjadi di luar angkasa, tempat ini dilengkapi perlengkapan yang diletakkan secara permanen. Peradaban Islam dianggap telah berjasa besar dalam meletakkan dasar-dasar observatorium modern.
''Seringkali pendirian observatorium didorong minat kerajaan terhadap astrologi,'' ungkap Howard R Turner dalam bukunya bertajuk ''Science in Medieval Islam, An Illustrated Introduction. Berdasarkan catatan sejarah, observatorium astronomi Islam pertama kali dibangun pada era kejayaan Dinasti Abbasiyah.
Observatorium tertua yang di dunia Islam adalah Shammasiyah. Tempat pengamatan fenomena langit itu dibangun Khalifah Al-Mamun di kota Baghdad sekitar tahun 828 M. Pembangunan observatorium itu sangat terkait dengan pusat gerakan intelektual Kekhalifahan Abbasiyah - Bait Al-Hikmah - yang juga didirikan Al-Mamun.
Al-Mamun mengundang para astronom untuk melakukan pengamatan terhadap Matahari, Bulan dan planet-planet. Hasil pengamatan para astronom di era kejayaan Dinasti Abbasiyah itu diabadikan dalam sebuah buku bertajuk ''Mumtahan''. Pada abad itu, pengamatan dan pengkajian terhadap fenomena langit juga dilakukan Bani Musa bersaudara di Kota Baghdad.
Salah satu pencapaian penting yang dilakukan Bani Musa di Observatorium Shammasiyah adalah studi tentang Ursa Major -- Ursa Major alias "Beruang Besar" yang dikenal pula sebagai "rasi biduk", "bintang biduk", atau "bintang tujuh". Ursa Major merupakan rasi bintang yang tampak sepanjang tahun di belahan utara langit.
Kalangan pelaut menjadikan rasi itu sebagai petunjuk untuk memperkirakan titik utara langit, dengan menarik garis lurus dari dua bintang (alfa dan beta) terterang ke arah horison. Di Observatorium Baghdad itu pula, Bani Musa berhasil mengukur ketinggian maksimum dan minimum Matahari. Mereka juga sudah mampu mengamati fenomena gerhana Bulan.
Setelah kekuasaan Abbasiyah meredup, upaya pengamatan fenomena langit dilanjutkan para astronom di bawah kekuasaan Dinasti Buwaih. Tahun 950 M, dinasti ini membangun observatorium dan melengkapinya dengan peralatan tercanggih di zamannya. Observatorium Dinasti Buwaih telah melahirkan astronom Muslim terkemuka seperti Ibnu Al-Alam dan Abd Al-Rahman Al-Sufi - astronom termasyhur.
Al-Sufi berhasil merevisi katalog bintang Ptolemeus di observatorium yang didukung Pangeran Adud Al-Dawla - penguasa Buwaih. Pada tahun 994 M, Abu-Mahmud Al-Khujandi juga berhasil membangun sebuah observatorium di Ray, Iran yang terkenal dengan sektan dindingnya yang besar. Sharaf al-Daula juga tercatat sebagai penguasa Buwaih yang mendirikan observatorium di Kota Baghdad.
Sejarawan Ibnu Yunus dan Al-Zarqali dalam catatannya mengungkapkan, observatorium juga dibangun peradaban Islam di Toledo serta Cordoba. Observatorium yang dibangun di bawah kekuasaan Dinasti Umayyah Spanyol itu diyakini keduanya telah menggunakan peralatan astronomi yang tercanggih di zamannya.
Memasuki abad ke-11 M, penguasa Dinasti Seljuk, Sultan Malik Shah I (berkuasa 1072-1092) juga membangun sebuah observatorium yang lebih maju. Sayangnya, observatorium itu tak bertahan lama, hanya digunakan selama 20 tahun. Dua abad kemudian, astronom Islam kembali berhasil membangun fasilitas pengamatan yang sangat mengesankan, yakni Observatorium Maragha.
Observatorium itu dibangun oleh astronom Muslim termasyhur Nasiruddin Al-Tusi pada abad ke-13 M. Pusat penelitian fenomena langit itu dilengkapi perpustakaan dengan koleksi buku mencapai 400 ribu judul. Observatorium Maragha juga telah melahirkan sejumlah astronom terkemuka seperti, QuIb al-Din al-Shirazy, Mu'ayyid al-Din al-Urdy, Muiyi al-Din al-Maghriby, dan banyak lagi.
Al-Tusi dan timnya yang profesional berhasil menyusun hasil penelitiannya dalam sebuah buku berjudul The Zij-i Ilkhani. Terinspirasi pencapaian Al-Tusi, penguasa Muslim yang cinta astronomi bernama Ulugh Beg pada tahun 1420 M juga mendirikan Observatorium di Samarkand.
Ahli astronomi Barat, Kevin Krisciunas dalam tulisannya berjudul The Legacy of Ulugh Beg mengungkapkan, observatorium termegah yang dibangun sarjana Muslim adalah Ulugh Beg. Observatorium itu dibangun seorang penguasa keturunan Mongol yang bertahta di Samarkand bernama Muhammad Taragai Ulugh Beg (1393-1449). Dia adalah seorang pejabat yang menaruh perhatian terhadap astronomi.
Saat Kekhalifahan Turki Usmani berkuasa, dunia Islam kembali berhasil membangun sebuah observatorium astronomi baru di Istanbul. Observatorium itu dibangun Taqi al-Din bin Ma'ruf pada tahun 1577. Pusat pengamatan fenomena langit itu hampir sama besarnya dengan observatorium di Maragha dan Samarkand. Pembangunan observatorium yang didukung Sultan Murad III itu tak bertahan lama.
Observatorium astronomi Islam juga dibangun pada era kekuasaan Dinasti Mughal di India. Humayun, penguasa dinasti itu membangun observatorium pribadi di New Delhi. Sedangkan, Jahangir dan Shah Jahan juga bermaksud membangun observatorium, namun rencana itu tak terwujud.
Observatorium terakhir dibangun peradaban Islam India tahun 1724. Penguasa Mughal membangun observatorium di Delhi, Jaipur, Ujjain dan kota-kota lainnya di India. Di era modern, dunia Islam juga masih membangun observatorium yang canggih. Pusat pengamatan langit dan fenomena luar angkasa itu terdapat di Yordania, Palestina, Lebanon, Uni Emirat Arab, Tunisi dan negara-negara Arab lainnya.
Negara Muslim yang juga memiliki fasilitas observatorium yang lengkap adalah Iran. Observatorium itu berada di Universitas Shiraz dan Universitas Tabriz. Tahun 2005 lalu, Negeri Para Mullah itu sempat mencanangkan pembangunan observatorium berkelas dunia dengan dilengkapi teleskop 2,0 meter.
Dunia astronomi modern berutang budi kepada para penguasa dan astronom Islam yang telah mengembangkan observatorium. Berkat pengamatan yang mereka lakukan, rahasia langit pun telah terkuak. Inilah sumbangan nyata peradaban Islam bagi pengembangan astronomi.
Para Pembangun Observatorium di Dunia Islam
Khalifah Al-Mamun
Dia adalah Khalifah Abbasiyah ketujuh yang telah sukses mengantarkan dunia Islam pada puncak kejayaan. Al-Mamun dikenal sebagai figur pemimpin yang dianugerahi intelektualitas yang cemerlang. Ia menguasai beragam ilmu pengetahuan. Kemampuan dan kesuksesannya mengelola pemerintahan dicatat dengan tinta emas dalam sejarah peradaban Islam.
Berkat inovasi gagasannya yang brilian, Baghdad - ibu kota Abbasiyah menjadi pusat kebudayaan dunia. Sang khalifah sangat menyokong perkembangan aktivitas keilmuan dan seni. Perpustakaan Bait Al-Hikmah yang didirikan sang ayah, Khalifah Harun Ar-Rasyid disulapnya menjadi sebuah universitas virtual yang mampu menghasilkan sederet ilmuwan Muslim yang melegenda.
Khalifah yang sangat cinta dengan ilmu pengetahuan itu mengundang para ilmuwan dari beragam agama untuk datang ke Bait Al-Hikmah. Ia juga mendirikan observatorium pertama di dunia Islam. Al-Ma'mun menempatkan para intelektual dalam posisi yang mulia dan sangat terhormat. Para filosof, ahli bahasa, dokter, ahli fisika, amtematikus, astronom, ahli hukum serta sarjana yang menguasai ilmu lainnya digaji dengan bayaran yang sangat tinggi.
Nasiruddin Al-Tusi
Sarjana Muslim yang satu ini dikenal sebagai ilmuwan serbabisa. Para sejarawan menyandingkan kemasyhurannya setara dengan teolog dan filsuf besar sejarah gereja, Thomas Aquinas. Astronom Muslim itu memiliki nama lengkap Abu Ja'far Muhammad ibn Muhammad ibn Al-Hasan Nasiruddin Al-Tusi. Ia terlahir pada 18 Februari 1201 M di kota Tus yang terletak di dekat Meshed, sebelah timur laut Iran.
Sebagai seorang ilmuwan yang amat kondang di zamannya, Nasiruddin memiliki banyak nama antara lain, Muhaqqiq Al-Tusi, Khuwaja Tusi, dan Khuwaja Nasir. Nasiruddin lahir di awal abad ke-13 M, ketika dunia Islam tengah mengalami masa-masa sulit. Pada era itu, kekuatan militer Mongol yang begitu kuat menginvansi wilayah kekuasaan Islam yang amat luas. Kota-kota Islam dihancurkan dan penduduknya dibantai habis tentara Mongol dengan sangat kejam.
Dalam bidang astronomi dia telah berjasa membangun observatorium yang hebat di Maragha. Pusat penelitian fenomena langit itu dilengkapi perpustakaan dengan koleksi buku mencapai 400 ribu judul. Al-Tusi dan timnya yang profesional berhasil menyusun hasil penelitiannya dalam sebuah buku berjudul The Zij-i Ilkhani.
Taqi Al-Din
Ia tak hanya dikenal sebagai seorang saintis legendaris. Ilmuwan Muslim kebanggaan Kerajaan Ottoman itu juga termasyhur sebagai seorang astronom, astrolog, insinyur, inventor, fisikawan, matematikus, dokter, hakim Islam, ahli botani, filosof, ahli agama dan guru madrasah. Dunia ilmu pengetahuan modern juga mengakuinya sebagai ilmuwan yang sangat produktif.
Tak kurang dari 90 judul buku dengan beragam bidang kajian telah ditulisnya. Sayangnya, hanya tinggal 24 karya monumentalnya yang masih tetap eksis. Sederet penemuannya juga sungguh sangat menakjubkan. Pencapaiannya dalam berbagai temuan mampu mendahului para ilmuwan Barat.
Pada era kekuasaan Sultan Selim II, sang ilmuwan diminta untuk mengembangkan pengetahuannya dalam bidang astronomi oleh seorang hakim di Mesir Kazasker Abd al-Karim Efendi dan ayahnya Qutb Al-Din. Bahkan, Qutb Al-Din menghibahkan kumpulan karya-karyanya beserta beragam peralatan astronomi. Sejak itulah, ia mulai konsisten mengembangkan astronomi dan matematika.
Sejak itulah, ia resmi menjadi astronom resmi Sultan Selim II pada tahun 1571. Ia diangkat sebagai kepala astronom kesultanan (Munajjimbashi) setelah wafatnya Mustafa bin Ali Al-Muwaqqit - kepala astronom terdahulu. Taqi Al-Din juga dikenal supel dalam pergaulan. Ia mampu menjalin hubungan yang erat dengan para ulama dan pejabat negara.
Pemerintahan Usmani Turki mengalami perubahan kepemimpinan, ketika Sultan Selim II tutup usia. Tahta kesultanan akhirnya diduduki Sultan Murad III. Kepada sultan yang baru Taqi Al-Din mengajukan permohonan untuk membangun observatorium yang baru. Ia menjanjikan prediksi astrologi yang akurat dengan berdirinya observatorium baru tersebut.
Permohonan itu akhirnya dikabulkan Sultan Murad III. Proyek pembangunan Observatorium Istanbul dimulai pada tahun 1575. Dua tahun kemudian, observatorium itu mulai beroperasi. Taqi Al-din menjabat sebagai direktur Observatorium Istanbul. Dengan kucuran dana dari kerajaan Ottoman, observatorium itu bersaing dengan observatorium yang ada di Eropa, khususnya Observatorium Astronomi Raja Denmark.
Untuk menguak rahasia langit, peradaban Islam pun membangun observatorium astronomi. Observatorium merupakan sebuah lokasi untuk mengamati langit dan peristiwa yang terjadi di luar angkasa, tempat ini dilengkapi perlengkapan yang diletakkan secara permanen. Peradaban Islam dianggap telah berjasa besar dalam meletakkan dasar-dasar observatorium modern.
''Seringkali pendirian observatorium didorong minat kerajaan terhadap astrologi,'' ungkap Howard R Turner dalam bukunya bertajuk ''Science in Medieval Islam, An Illustrated Introduction. Berdasarkan catatan sejarah, observatorium astronomi Islam pertama kali dibangun pada era kejayaan Dinasti Abbasiyah.
Observatorium tertua yang di dunia Islam adalah Shammasiyah. Tempat pengamatan fenomena langit itu dibangun Khalifah Al-Mamun di kota Baghdad sekitar tahun 828 M. Pembangunan observatorium itu sangat terkait dengan pusat gerakan intelektual Kekhalifahan Abbasiyah - Bait Al-Hikmah - yang juga didirikan Al-Mamun.
Al-Mamun mengundang para astronom untuk melakukan pengamatan terhadap Matahari, Bulan dan planet-planet. Hasil pengamatan para astronom di era kejayaan Dinasti Abbasiyah itu diabadikan dalam sebuah buku bertajuk ''Mumtahan''. Pada abad itu, pengamatan dan pengkajian terhadap fenomena langit juga dilakukan Bani Musa bersaudara di Kota Baghdad.
Salah satu pencapaian penting yang dilakukan Bani Musa di Observatorium Shammasiyah adalah studi tentang Ursa Major -- Ursa Major alias "Beruang Besar" yang dikenal pula sebagai "rasi biduk", "bintang biduk", atau "bintang tujuh". Ursa Major merupakan rasi bintang yang tampak sepanjang tahun di belahan utara langit.
Kalangan pelaut menjadikan rasi itu sebagai petunjuk untuk memperkirakan titik utara langit, dengan menarik garis lurus dari dua bintang (alfa dan beta) terterang ke arah horison. Di Observatorium Baghdad itu pula, Bani Musa berhasil mengukur ketinggian maksimum dan minimum Matahari. Mereka juga sudah mampu mengamati fenomena gerhana Bulan.
Setelah kekuasaan Abbasiyah meredup, upaya pengamatan fenomena langit dilanjutkan para astronom di bawah kekuasaan Dinasti Buwaih. Tahun 950 M, dinasti ini membangun observatorium dan melengkapinya dengan peralatan tercanggih di zamannya. Observatorium Dinasti Buwaih telah melahirkan astronom Muslim terkemuka seperti Ibnu Al-Alam dan Abd Al-Rahman Al-Sufi - astronom termasyhur.
Al-Sufi berhasil merevisi katalog bintang Ptolemeus di observatorium yang didukung Pangeran Adud Al-Dawla - penguasa Buwaih. Pada tahun 994 M, Abu-Mahmud Al-Khujandi juga berhasil membangun sebuah observatorium di Ray, Iran yang terkenal dengan sektan dindingnya yang besar. Sharaf al-Daula juga tercatat sebagai penguasa Buwaih yang mendirikan observatorium di Kota Baghdad.
Sejarawan Ibnu Yunus dan Al-Zarqali dalam catatannya mengungkapkan, observatorium juga dibangun peradaban Islam di Toledo serta Cordoba. Observatorium yang dibangun di bawah kekuasaan Dinasti Umayyah Spanyol itu diyakini keduanya telah menggunakan peralatan astronomi yang tercanggih di zamannya.
Memasuki abad ke-11 M, penguasa Dinasti Seljuk, Sultan Malik Shah I (berkuasa 1072-1092) juga membangun sebuah observatorium yang lebih maju. Sayangnya, observatorium itu tak bertahan lama, hanya digunakan selama 20 tahun. Dua abad kemudian, astronom Islam kembali berhasil membangun fasilitas pengamatan yang sangat mengesankan, yakni Observatorium Maragha.
Observatorium itu dibangun oleh astronom Muslim termasyhur Nasiruddin Al-Tusi pada abad ke-13 M. Pusat penelitian fenomena langit itu dilengkapi perpustakaan dengan koleksi buku mencapai 400 ribu judul. Observatorium Maragha juga telah melahirkan sejumlah astronom terkemuka seperti, QuIb al-Din al-Shirazy, Mu'ayyid al-Din al-Urdy, Muiyi al-Din al-Maghriby, dan banyak lagi.
Al-Tusi dan timnya yang profesional berhasil menyusun hasil penelitiannya dalam sebuah buku berjudul The Zij-i Ilkhani. Terinspirasi pencapaian Al-Tusi, penguasa Muslim yang cinta astronomi bernama Ulugh Beg pada tahun 1420 M juga mendirikan Observatorium di Samarkand.
Ahli astronomi Barat, Kevin Krisciunas dalam tulisannya berjudul The Legacy of Ulugh Beg mengungkapkan, observatorium termegah yang dibangun sarjana Muslim adalah Ulugh Beg. Observatorium itu dibangun seorang penguasa keturunan Mongol yang bertahta di Samarkand bernama Muhammad Taragai Ulugh Beg (1393-1449). Dia adalah seorang pejabat yang menaruh perhatian terhadap astronomi.
Saat Kekhalifahan Turki Usmani berkuasa, dunia Islam kembali berhasil membangun sebuah observatorium astronomi baru di Istanbul. Observatorium itu dibangun Taqi al-Din bin Ma'ruf pada tahun 1577. Pusat pengamatan fenomena langit itu hampir sama besarnya dengan observatorium di Maragha dan Samarkand. Pembangunan observatorium yang didukung Sultan Murad III itu tak bertahan lama.
Observatorium astronomi Islam juga dibangun pada era kekuasaan Dinasti Mughal di India. Humayun, penguasa dinasti itu membangun observatorium pribadi di New Delhi. Sedangkan, Jahangir dan Shah Jahan juga bermaksud membangun observatorium, namun rencana itu tak terwujud.
Observatorium terakhir dibangun peradaban Islam India tahun 1724. Penguasa Mughal membangun observatorium di Delhi, Jaipur, Ujjain dan kota-kota lainnya di India. Di era modern, dunia Islam juga masih membangun observatorium yang canggih. Pusat pengamatan langit dan fenomena luar angkasa itu terdapat di Yordania, Palestina, Lebanon, Uni Emirat Arab, Tunisi dan negara-negara Arab lainnya.
Negara Muslim yang juga memiliki fasilitas observatorium yang lengkap adalah Iran. Observatorium itu berada di Universitas Shiraz dan Universitas Tabriz. Tahun 2005 lalu, Negeri Para Mullah itu sempat mencanangkan pembangunan observatorium berkelas dunia dengan dilengkapi teleskop 2,0 meter.
Dunia astronomi modern berutang budi kepada para penguasa dan astronom Islam yang telah mengembangkan observatorium. Berkat pengamatan yang mereka lakukan, rahasia langit pun telah terkuak. Inilah sumbangan nyata peradaban Islam bagi pengembangan astronomi.
Para Pembangun Observatorium di Dunia Islam
Khalifah Al-Mamun
Dia adalah Khalifah Abbasiyah ketujuh yang telah sukses mengantarkan dunia Islam pada puncak kejayaan. Al-Mamun dikenal sebagai figur pemimpin yang dianugerahi intelektualitas yang cemerlang. Ia menguasai beragam ilmu pengetahuan. Kemampuan dan kesuksesannya mengelola pemerintahan dicatat dengan tinta emas dalam sejarah peradaban Islam.
Berkat inovasi gagasannya yang brilian, Baghdad - ibu kota Abbasiyah menjadi pusat kebudayaan dunia. Sang khalifah sangat menyokong perkembangan aktivitas keilmuan dan seni. Perpustakaan Bait Al-Hikmah yang didirikan sang ayah, Khalifah Harun Ar-Rasyid disulapnya menjadi sebuah universitas virtual yang mampu menghasilkan sederet ilmuwan Muslim yang melegenda.
Khalifah yang sangat cinta dengan ilmu pengetahuan itu mengundang para ilmuwan dari beragam agama untuk datang ke Bait Al-Hikmah. Ia juga mendirikan observatorium pertama di dunia Islam. Al-Ma'mun menempatkan para intelektual dalam posisi yang mulia dan sangat terhormat. Para filosof, ahli bahasa, dokter, ahli fisika, amtematikus, astronom, ahli hukum serta sarjana yang menguasai ilmu lainnya digaji dengan bayaran yang sangat tinggi.
Nasiruddin Al-Tusi
Sarjana Muslim yang satu ini dikenal sebagai ilmuwan serbabisa. Para sejarawan menyandingkan kemasyhurannya setara dengan teolog dan filsuf besar sejarah gereja, Thomas Aquinas. Astronom Muslim itu memiliki nama lengkap Abu Ja'far Muhammad ibn Muhammad ibn Al-Hasan Nasiruddin Al-Tusi. Ia terlahir pada 18 Februari 1201 M di kota Tus yang terletak di dekat Meshed, sebelah timur laut Iran.
Sebagai seorang ilmuwan yang amat kondang di zamannya, Nasiruddin memiliki banyak nama antara lain, Muhaqqiq Al-Tusi, Khuwaja Tusi, dan Khuwaja Nasir. Nasiruddin lahir di awal abad ke-13 M, ketika dunia Islam tengah mengalami masa-masa sulit. Pada era itu, kekuatan militer Mongol yang begitu kuat menginvansi wilayah kekuasaan Islam yang amat luas. Kota-kota Islam dihancurkan dan penduduknya dibantai habis tentara Mongol dengan sangat kejam.
Dalam bidang astronomi dia telah berjasa membangun observatorium yang hebat di Maragha. Pusat penelitian fenomena langit itu dilengkapi perpustakaan dengan koleksi buku mencapai 400 ribu judul. Al-Tusi dan timnya yang profesional berhasil menyusun hasil penelitiannya dalam sebuah buku berjudul The Zij-i Ilkhani.
Taqi Al-Din
Ia tak hanya dikenal sebagai seorang saintis legendaris. Ilmuwan Muslim kebanggaan Kerajaan Ottoman itu juga termasyhur sebagai seorang astronom, astrolog, insinyur, inventor, fisikawan, matematikus, dokter, hakim Islam, ahli botani, filosof, ahli agama dan guru madrasah. Dunia ilmu pengetahuan modern juga mengakuinya sebagai ilmuwan yang sangat produktif.
Tak kurang dari 90 judul buku dengan beragam bidang kajian telah ditulisnya. Sayangnya, hanya tinggal 24 karya monumentalnya yang masih tetap eksis. Sederet penemuannya juga sungguh sangat menakjubkan. Pencapaiannya dalam berbagai temuan mampu mendahului para ilmuwan Barat.
Pada era kekuasaan Sultan Selim II, sang ilmuwan diminta untuk mengembangkan pengetahuannya dalam bidang astronomi oleh seorang hakim di Mesir Kazasker Abd al-Karim Efendi dan ayahnya Qutb Al-Din. Bahkan, Qutb Al-Din menghibahkan kumpulan karya-karyanya beserta beragam peralatan astronomi. Sejak itulah, ia mulai konsisten mengembangkan astronomi dan matematika.
Sejak itulah, ia resmi menjadi astronom resmi Sultan Selim II pada tahun 1571. Ia diangkat sebagai kepala astronom kesultanan (Munajjimbashi) setelah wafatnya Mustafa bin Ali Al-Muwaqqit - kepala astronom terdahulu. Taqi Al-Din juga dikenal supel dalam pergaulan. Ia mampu menjalin hubungan yang erat dengan para ulama dan pejabat negara.
Pemerintahan Usmani Turki mengalami perubahan kepemimpinan, ketika Sultan Selim II tutup usia. Tahta kesultanan akhirnya diduduki Sultan Murad III. Kepada sultan yang baru Taqi Al-Din mengajukan permohonan untuk membangun observatorium yang baru. Ia menjanjikan prediksi astrologi yang akurat dengan berdirinya observatorium baru tersebut.
Permohonan itu akhirnya dikabulkan Sultan Murad III. Proyek pembangunan Observatorium Istanbul dimulai pada tahun 1575. Dua tahun kemudian, observatorium itu mulai beroperasi. Taqi Al-din menjabat sebagai direktur Observatorium Istanbul. Dengan kucuran dana dari kerajaan Ottoman, observatorium itu bersaing dengan observatorium yang ada di Eropa, khususnya Observatorium Astronomi Raja Denmark.
No comments:
Post a Comment