Kisah kepulangan warga Suriah ke rumah mereka pascaperang kerap menghadirkan kejutan yang tak terduga. Di pedesaan Aleppo, seorang pemilik rumah terperangah ketika mendapati bahwa kediamannya telah dijadikan markas milisi dan di bawahnya terhampar jaringan terowongan luas yang digali sebagai tempat persembunyian.
Fenomena rumah yang dijadikan basis militer bukanlah hal asing dalam perang Suriah. Banyak kelompok bersenjata, termasuk SDF/YPG, memanfaatkan permukiman warga sebagai titik strategis. Tak jarang, ruang bawah tanah diubah menjadi gudang senjata, pusat komando, hingga jalur penyelundupan.
Kementerian Pertahanan Turki baru-baru ini menyatakan telah menetralkan sekitar 605 kilometer jaringan terowongan di Aleppo. Dari jumlah itu, 240 kilometer berada di sekitar Tell Rifaat dan 365 kilometer di Manbij. Panjangnya jaringan ini menunjukkan betapa sistematisnya strategi bawah tanah yang digunakan milisi.
Bagi pemilik rumah yang baru kembali, penemuan semacam ini menghadirkan dilema. Di satu sisi, mereka merasa lega karena bisa kembali menempati tanah leluhur. Namun di sisi lain, keberadaan terowongan raksasa itu menimbulkan rasa khawatir akan keamanan.
Sebagian pemilik rumah memilih menutup terowongan dengan cepat. Mereka khawatir lubang tersebut masih menyimpan ancaman, baik berupa jebakan bahan peledak maupun potensi dimanfaatkan kembali oleh kelompok bersenjata yang berkeliaran.
Namun ada juga yang melihat peluang dari keberadaan ruang bawah tanah itu. Di beberapa wilayah, warga mencoba memanfaatkannya sebagai gudang penyimpanan barang, ruang pendingin alami, atau bahkan sebagai ruang kerja. Kreativitas muncul dari keterpaksaan pascaperang.
Seorang seniman lokal yang kembali ke rumahnya di pedesaan Aleppo mengaku kaget melihat panjangnya jaringan terowongan di bawah lantai rumah. Ia menyebutnya sebagai “labirin bawah tanah” yang menyimpan kisah perang sekaligus potensi untuk ditata ulang.
Sebagian warga mempertimbangkan menjadikan terowongan sebagai bagian dari upaya dokumentasi sejarah. Mereka ingin menunjukkan kepada generasi mendatang bagaimana perang mengubah lanskap rumah tangga menjadi arena militer. Dengan cara ini, ruang itu diperlakukan sebagai saksi bisu, bukan sekadar beban.
Meski begitu, pemanfaatan terowongan tetap membutuhkan perhatian serius. Banyak jaringan bawah tanah yang tidak stabil dan berisiko runtuh. Pemerintah lokal bersama lembaga teknis perlu turun tangan untuk menilai kelayakan penggunaannya.
Di beberapa desa, ada gagasan menjadikan terowongan sebagai jalur evakuasi darurat. Warga menilai pengalaman perang menunjukkan pentingnya ruang aman di bawah tanah bila konflik kembali pecah. Dengan perbaikan struktural, hal itu mungkin diwujudkan.
Tetapi mayoritas warga lebih memilih menutup rapat terowongan. Mereka merasa trauma setiap kali mengingat bahwa ruang itu dulunya digunakan milisi untuk bersembunyi atau melancarkan serangan. Menutupnya dianggap sebagai cara membersihkan rumah dari bayangan perang.
Sebagian rumah bahkan terpaksa dibongkar sebagian karena fondasinya terganggu oleh penggalian milisi. Pemiliknya harus membangun ulang dengan biaya besar, menambah penderitaan setelah bertahun-tahun terusir.
Ada pula warga yang memanfaatkan material dari terowongan untuk keperluan rumah tangga. Batu dan tanah yang digali bisa dijadikan bahan bangunan sederhana, meski jumlahnya tidak sebanding dengan kerusakan yang terjadi.
Di tingkat komunitas, penemuan jaringan terowongan sering menjadi bahan diskusi panjang. Apakah ruang itu sebaiknya dibiarkan sebagai bukti sejarah, dimanfaatkan secara praktis, atau ditutup sepenuhnya demi keselamatan? Jawabannya berbeda-beda tergantung pandangan masing-masing keluarga.
Dalam beberapa kasus, pihak berwenang justru mengambil alih terowongan untuk diperiksa. Mereka khawatir jalur itu masih bisa menghubungkan kelompok milisi yang bersembunyi di pedalaman. Proses ini biasanya memakan waktu sebelum pemilik rumah bisa benar-benar menempati kembali rumahnya.
Fakta bahwa milisi menggali ratusan kilometer terowongan menunjukkan betapa dalamnya dampak perang terhadap kehidupan sipil. Rumah, yang semestinya menjadi ruang privat, berubah menjadi bagian dari mesin perang yang kompleks.
Kepulangan warga ke rumah yang menyimpan rahasia bawah tanah menjadi cerita kontras antara harapan baru dan warisan perang. Di satu sisi ada semangat membangun kembali, di sisi lain ada trauma yang masih tersisa.
Sebagian warga menilai terowongan itu bisa dijadikan pelajaran tentang daya tahan dan kreativitas manusia. Namun, tidak sedikit yang melihatnya sebagai luka lama yang sebaiknya dikubur bersama reruntuhan perang.
Kisah rumah dengan terowongan di Aleppo menjadi simbol ambivalensi pascaperang Suriah. Ia memperlihatkan bahwa perdamaian tidak hanya soal menghentikan tembakan, tetapi juga bagaimana warga menghadapi warisan infrastruktur perang di ruang paling intim mereka.
Dengan berbagai pilihan sikap terhadap terowongan itu, yang jelas satu hal: bagi pemilik rumah, ruang bawah tanah tersebut adalah pengingat nyata bahwa perang pernah hadir begitu dekat, hingga ke fondasi rumah dan kehidupan keluarga mereka.